Monday 28 July 2014

Menunggu Tidaklah Mustahil

Cynthia's Blog
“Berapa lama kau akan pergi?” tanya sang Bunga seraya merunduk lesu. “’Aku tidak tahu, mungkin dua bulan, ini sudah kebiasaan kami untuk pergi mencari tempat yang lebih hangat,” jawab sang Burung, memeluk tubuh dengan kedua sayapnya. Bunga tahu musim akan berganti dan cintanya ini akan pergi, tergantikan oleh musim dingin yang beku.
Ia ingin berucap kembali, namun tidak ada keberanian yang membuncah dari hatinya. Ia tahu hal ini akan terjadi, ia tahu bahwa suatu saat cintanya akan pergi. Ia ingin menahan kepergian Burung tetapi ia tidak ingin terlihat buruk dengan egonya. Tamaklah sekali sebuah Bunga yang terlahir dari ujung pohon ini meminta seekor Burung tetap bersama dan mencintainya selalu. “Kenapa tiba-tiba diam? Ayolah, daun-daun sangat bagus di sini, aku ingin duduk bersantai di dekatmu” Suara sang Burung membuyarkan lamunannya, ia hanya tersipu malu dan mengusap kelopaknya dekat dengan sayap sang Burung.
***
Ia datang pada saat musim semi, saat aku kecil dan kelopakku masih putih. Ia berkata dengan nada lembut namun tegas, “Permisi, aku membutuhkan tempat tinggal sementara, bolehkah aku membangun sarang di sini?” Tentu saja pohon ini mengangguk senang, begitu pula aku. Kami hanya pohon kecil dengan daun hijau lebar dan banyak bunga indah bermekaran. Dia bisa saja bicara pada bunga yang lain, entah mengapa dia bicara padaku. “Hai kecil, namaku Burung, senang bertemu denganmu.” Aku hanya tersenyum seraya melambaikan kelopakku. Dia tumbuh bersamaku, menjadi tetanggaku yang paling ramah, kakakku yang paling baik, sekaligus ayahku yang paling bijak. Dia tak pernah lelah bercerita tentang dunia yang ia jelajahi bersama sayapnya yang kuat membentang.
Hanya saja aku tak mengerti tentang musim kawinnya. Aku tahu semua binatang punya musim kawin, tapi burungku tidak melakukannya. Ia tidak membawa betina mana pun ke dalam sarangnya di pohon kami, tidak ada anak burung yang menciap-ciap dari balik timbunan ranting, tidak ada cacing-cacing di paruhnya yang dia bawa pulang untuk seekor lain. “Aku tidak berniat melakukannya. Kau bisa bilang aku ini aneh, tapi aku tidak tertarik melakukannya. Aku nyaman tinggal di sini bersamamu,”jawabnya ketika kutanya mengapa tidak mengikuti trend musim kawin.
Oh, dia curang. Tentu saja karna dia memberiku secercah harapan untuk tinggal di sisinya. Menemaninya menikmati pergantian musim. Lalu aku tumbuh semakin dewasa dan perasaan ini semakin meluap. Hingga pergantian musim dingin ini, sesuatu yang beku meremukkan harapanku. Kepergiannya dan tubuhku yang akan gugur dari ranting pohon.
***
Ketakutan merundung relung hati Bunga untuk bertanya apakah Burung akan kembali ketika musim semi, mengepakkan sayapnya yang kokoh dan mendaratkan kaki mungilnya di batang pohon ini dan menyuarak masuk ke tubuh pohon lalu berbaring kembali di sarangnya. Apakah akan semudah itu? Ia tak yakin Burung mengingat letak sarangnya, mungkin lebih mudah bagi mereka untuk membangun sarang baru.

“Kau tahu ada beberapa hal yang mustahil dilakukan, tapi kita setiap makhluk hidup selalu dapat melakukannya,”kata sang Burung memecah keheningan. “Kau sedang bermain dengan pikiran,”Bunga tertawa,”katakanlah apa yang kau mau.”

“Jangan gugur dari pohon ini sampai musim semi berikutnya dan aku akan kembali ke sarangku ini.”
Mustahil! Bunga tidak bisa menahan tubuhnya koyak oleh terpaan angin dingin, belum lagi embun salju yang menguyurnya tiap hari. Akan tetapi, tidak ada yang bisa membiusnya selain kalimat terakhir. Bunga sangat ingin bertemu dengan sang Burung kembali. Dalam hatinya, muncul deklarasi bahwa musim dingin pun tidak akan penyurutkan penantiannya. Apakah Bunga gila? Tentu saja, karena sejak awal ia telah dikalahkan oleh perasaannya.
***
“Kamu baca apa?”tanya laki-laki itu. Si perempuan tergagap dan menutup bukunya, “Bukan apa-apa, buku ini hanya menghiburku.” Laki-laki itu tersenyum dan memasukkan sejumlah baju ke dalam tas ransel hitamnya. Perempuan itu menekuk pinggir halaman buku yang paling atas lalu menaruhnya di samping, “Kamu sudah selesai packing?” Laki-laki itu mengangguk dan dengan gesit merebut buku itu lalu membuka halaman yang ditekuk. Si perempuan berdecak kesal dan pipinya bersemu merah.
“Aku tidak melakukan hal yang mustahil kok, dan aku tidak pergi sesuai musim,” kata laki-laki itu kemudian. Si perempuan tidak menjawab karena kesal bercampur malu. “Ah, tapi cerita ini ada benarnya juga, sini berikan tanganmu.” Laki- laki itu menarik tangan perempuannya dan meletakkan segerombol kunci di tangannya.
“Ini kunci kehidupanku, silahkan kamu bawa. Biar semakin mirip dengan sarang si burung, bagaimana?”

Perempuan itu hanya tersenyum kecil dan memeluk lelaki di hadapannya itu seraya berbisik, “Selamat jalan, jangan lupa ada yang menunggumu di sini.”


Saturday 26 July 2014

Ketika masa kanak-kanakmu lebih berharga...

Cynthia's Blog
Nama buku: Herr Der Diebe (Pangeran Pencuri)
Pengarang: Cornelia Funke
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2011
Tebal buku: 420 halaman

Akhirnya Yesus! Buku ini sudah lama ingin aku beli sejak kelas 1 SMA tapi baru terbeli awal Juli 2014 lalu karena cuci gudang besar-besarannya Gramedia. Jadi semakin yakin kalau Tuhan mengabulkan keinginan kita, walaupun butuh waktu yang lama. Anyway, buku ini berkisah tentang seorang kakak beradik bernama Prosper dan Bo. Keduanya kabur dari kejaran paman dan bibi yang akan mengadopsi Bo dan membawa Prosper ke sekolah asrama. Cerita yang mengambil latar kemegahan kota Venezia ini membawa mereka berpetualang bersama teman-teman baru, Tawon, Mosca, dan Riccio. Mereka adalah sekelompok anak jalanan yang hidup di Istana Bintang,sebuah gedung bioskop tua. Mereka mendapat barang curian dari seorang anak laki-laki misterius bernama Scipio atau biasa dipanggil Pangeran Pencuri. Barang curian itu akan mereka jual pada seorang pedagang barang antik yang licik bernama Barbarossa. Suatu ketika, muncul Victor, seorang detektif yang disewa paman dan bibi Prosper untuk menemukan keponakannya. Namun, justru ia menemukan Istana Bintang kesayangan mereka, tak disangka pula ia mengetahui identitas Scipio yang ternyata putra Doctor Massimo yang sangat kaya di kota itu. Persahabatan mereka menjadi runyam karena merasa ditipu oleh Scipio. Masalah tidak selesai begitu saja, anak-anak itu mendapat tugas dari Sang Conte untuk mencuri sebuah sayap kayu dari Ida Spavento dengan imbalan uang yang sangat banyak. Sayap palsu tersebut akan digunakan untuk menghidupkan komedi Putar Suster Putri Kasih yang akan menjadikan seseorang lebih muda beberapa tahun. Sejak peristiwa itulah, kehidupan anak-anak jalanan tersebut semakin rumit.
Cornelia Funke
Penulis Inkheart 

Sampul buku Tahun 2011
Cornelia Funke berhasil meramu kata dan rima dalam petualangan anak-anak yang seru. Alur ceritanya sangat menarik karena menumpuk masalah demi masalah dan menyelesaikannya pada akhir cerita, seperti sebuah sulur pohon yang panjang namun bertemu pada satu titik. Novel ini sangat mengesankan karena kita tidak dapat menduga akhir kisahnya walaupun dengan alur maju yang sederhana. Penghadiran tokoh yang muncul satu persatu seiring dengan jalan cerita sangatlah menarik.Hanya saja, penggunaan judul Pangeran Pencuri untuk menggambarkan kisah ini tidaklah tepat karena inti ceritanya berorientasi pada Prosper dan Bo. Petualangan anak jalanan ini memberi makna bahwa kita harus menikmati masa kanak-kanak kita yang penuh warna dan terus melangkah ke depan walaupun dunia menampar kita dengan keras.

"Kau pernah merasa ingin cepat besar?" Prosper bertanya ketika mereka melewati jembatan yang tercermin samar-samar di permukaan air. Riccio menggeleng "Tidak, kenapa? Jauh lebih praktis kalau kita tetap kecil. Kita tidak terlalu menarik perhatian, dan kita jauh lebih cepat kenyang. Kau tahu apa yang selalu dikatakan Scipio?" Ia melompati ujung jembatan. "Anak-anak seperti ulat dan orang dewasa seperti kupu-kupu. Dan tidak ada kupu-kupu yang masih ingat bagaimana rasanya menjadi ulat."

Coprights @ 2016, Blogger Template Designed By Templateism | Distributed By Blogger Template