
Dalam ruang
gelap ini, terdapat saatu pembicaraan. Tanya jawab yang sulit, antara Pikiran
dan hati.
“Apakah jatuh
cinta tanpa alasan itu bisa?” tanya Pikiran pada hati. Hati hanya termenung.
“Entahlah, aku juga baru kali ini merasakannya.”
“Tidak perlu
dirasakan,coba sekali-kali gunakan otakmu seperti aku,”dengus Pikiran kesal.
***
“Siapa ini?”
Waktu itu malam
sangat gelap, ditambah lagi mata kami ditutup dengan kain hitam pekat. Tanganku
dibimbing untuk menyentuh pundak orang dihadapanku. Badannya tinggi dan bahunya
lebar. Aku bahkan bisa merasakan hembus napasnya.
Aku menyebut namaku, kemudian dia
membalas dengan O yang panjang. Aku memegang pundaknya dalam diam. Kemudian aku
merasakan tangan temanku yang lain naik di pundakku. Tangan yang kecil dengan
jari yang lentik. Ini pasti jari perempuan. Lalu terdengar aba-aba dari orang
disebelahku, “Pegang pundak temanmu dengan erat ya, kita mau jalan. Hati-hati
jalannya terjal.”
Aku mengangguk
perlahan. Aku tidak memegang pundaknya dengan erat karena sungkan tetapi
kemudian tangannya memegang tanganku dan meletakkan dengan erat di pundaknya.
“Pegangan yang benar, aku tidak mau kalau ada yang jatuh.”
Untungnya saat
itu sudah sangat malam sehingga aku membiarkan semburat merah muda merembet
naik ke pipiku. “Ya.” Hanya satu patah kata yang kuucapkan. Kemudian aku
membiarkan dirinya menuntunku dalam gelap.
***
Lampu
dinyalakan. Cahaya putih memandikan bola mata kami. Kami mengerjap mata kami
karena tidak biasa melihat cahaya. Terlalu lama kami dalam ruangan gelap ini.
Dia
duduk dihadapanku. Kepalanya menunduk. Pandangan matanya pada tertuju pada
kakinya yang berayun. Kami berlima saling bercakap-cakap dalam ruangan sempit
itu. Kata kakak pembimbing sebentar lagi kami akan bertemu dengan kakak-kakak
angkatan yang lain.
Kemudian
dia bangkit dan duduk di sampingku. Semua orang di ruangan itu diam, termasuk
aku. Tapi kami tidak mampu berucap apapun.
Lalu
suasana mencair ketika beberapa kakak angkatan mulai masuk ke ruangan sempit
kami. Ketika itu, kami diminta untuk memperkenalkan teman di samping kami. Aku
memperkenalkan dirinya, sekolahnya, dan asalnya. Kemudian dia menepuk pundakku
dan memperkenalkan diriku secara lengkap. Tidak, aku berlebihan. Dia tidak
menyebut nama belakangku. Tapi dia memperkenalkan diriku dengan tersenyum,
senyum itu yang terbaik.
Setelah
kakak angkatan masuk ke ruangan kami, silih berganti, sampai kami bosan dan
lelah, aku mengambil bantal di sudut ruangan dan merebahkan diriku di dipan
yang kududuki. “Geser dong,” katanya padaku. Kemudian kami berbagi bantal dan
dia tidur di sebelahku tepat.
“Orang
tuamu kerja apa?”
“Mereka
polisi, sekarang sedang dinas di luar pulau.”
“Lalu
kamu sendirian saja di rumah?”
“Tidak,
aku dengan pembantuku.”
Kami
bicara panjang lebar. Sangat panjang dan lebar. Bahkan aku tidak peduli apakah
teman sekelompok kami mendengarkan obrolan kami. Bahkan aku menyinggung waktu
pertama kali bertemu dengannya, “Waktu itu kamu bawa kartu JKT 48? Kamu fans
clubnya?”
“Iya
aku suka sekali,”jawabanya bersemangat.
“Lalu
kalau ada cover dance JKT 48 tapi tariannya tidak mirip, menurutmu bagaiman?”
“Yah,
aku hargai sih, mereka kan udah berusaha juga.”
“Oya,
aku jadi ingat dulu kakak kelasku suka sekali dengan JKT 48, lalu dia sering
membandingkan pacarnya dengan JKT 48.”
“Wah,
itu tolol namanya,” jawabnya sambil tertawa,”Harusnya dia hargai perempuan yang
ada dengannya saat ini.”
***
“Apakah
waktu itu kau berdebar-debar?” tanya Pikiran. Hati menggeleng, “Tidak kok,
karena aku rasa kami hanya berteman.”
“Tapi
aku suka perlakuannya padaku,” tambah Hati sambil meringis. Pikiran duduk dan
tampak merenung dengan serius. “Baiklah, kau rasakan saja terus. Aku mau
berpikir dulu, nanti kalau sudah aku beritahu padamu.” Dan Hati pun hanya
menurut.
***
Air
dingin merembes masuk baju kami. Aku mengigil kedinginan. Walaupun hari sudah
siang tapi diguyur dengan air kali itu bukan main dinginnya. “Dingin sekali,”
keluhku. Memang, aku yang terkena air paling banyak. Badanku basah kuyub semua,
padahal temanku yang lain hanya terkena air sebagian badan dan rambutnya saja.
“Kenapa sih?”tanya Dia padaku. “Dingin. Butuh pelukan,” kataku sambil tertawa,
maksudku bercanda. Ayolah, yang benar saja. Lagipula aku mengatakannya sambil
tertawa. Akan tetapi, ia benar melakukannya untukku. Kemudian tangannya
menepuk-nepuk kepalaku pelan.
Aku
tidak mengerti harus meletakkan perasaanku dimana. Maka kuputuskan untuk
membungkamnya terlebih dahulu. Selama permainan berlangsung, dia terlihat tidak
serius melakukannya. Bahkan kelompok kami kalah terus. Tetapi selama perjalanan
dia terus mengajakku bicara. Kami pukul
memukul bahu, tertawa, dan dia merangkulku. Semua terjadi begitu saja, seolah
itu hal yang wajar. Karena ada kedekatan di antara ruang udara kami.
Kami mengikuti sesi acara dengan
baik. Sampai hari terakhir, selesai melakukan foto bersama, dia merangkulku
lagi. Aku balas meninju perutnya. “Nanti jadi datang ya? Anak cowok mau
makan-makan setelah acara ini selesai.”
“Tapi aku tidak
bawa kendaraan,” jawabku.
“Tenang, ada
yang bawa mobil kok.” Lalu aku menyanggupinya. Aku mengajak satu teman
perempuanku untuk menemaniku.
Kami tidak tahu
apa yang terjadi. Sampai aku bertanya pada salah satu teman laki-lakiku, dan
temanku menjawab bahwa minggu lalu dia berulang tahun. Dia hendak mengadakan
acara ‘makan-makan’ bersama.
Akan tetapi,
telepon mamaku mengacaukan semuanya. Bukan, aku yang mengacaukan semuanya. Mama
mengatakan ia tidak bisa menjemputku diatas jam enam malam, dan memintaku
segera pulang. Wajahku berubah masam. Bagaimana tidak, aku baru menyentuh ubin
restorannya sekitar sepuluh menit yang lalu dan sekarang aku harus pergi. Aku
meletakkan rupiah dan kutindih dibawah minumanku,”Aku bayar sendiri ya, aku
harus pulang sekarang.”
“Lho memangnya
sudah dijemput?”
“Belum sampai
sih..”
“Kalau begitu di
sini saja sampai mamamu datang,”
“Tidak, dia
sudah hampir sampai mungkin.”
Lalu aku
beranjak dari kursi, dan meninggalkannya dengan seribu langkah kebodohan.
Setelah itu,
kami tidak pernah menjadi dekat kembali. Semua seperti sedia kala. Ketika kami
pertama kali mengenal dan ada tembok canggung diantara kami. Rasa ketertarikan
diantara kami pun sudah pudar. Kami? Bahkan sedari awal, kupikir aku harus
menggunakan ‘aku’ untuk menyebut perasaan sepihak ini.
***
“Hei, pikiran,
bagaimana kalau sekarang kau yang bekerja? Aku sudah mulai lelah,”keluh Hati.
“Kenapa lelah?
Bukankah katamu perasaanmu terus tumbuh? Bahkan setelah acara malam keakraban
itu seleai?” tanya Pikiran heran.
“Iya tumbuh,tetapi
di satu sisi, sementara sisi yang lain mati.”
“Kenapa?”
“Karena kisah si
pemilik kita dengan laki-laki itu tidak pernah berlanjut lagi. Aku lelah tiap
kali pemilik kita mengingat namanya dan aku merasakan ngilu yang sangat.”
“Kupikir kita
harus melupakannya, kamu, aku, dan si pemilik kita,”
Bagus juga nih cerpen buatan anak hukum UGM (y)
ReplyDeletemakasih haha
Delete