“Maaf.
Seharusnya aku tidak perlu mengatakannya. Bahkan kau bisa menganggapku tidak
pernah mengatakannya.”
“Tidak bisa. ”
“Mengapa
begitu?”
“Aku terlanjur
memiliki perasaan ini.”
***
Langit
Setiap hariku berlalu biasa saja. Kau
selalu di sampingku, dari awal. Mungkin karena itulah, aku tidak pernah
menyadarinya. Ketika Matahariku pergi, aku sadar duniaku mulai redup. Namun, di
sudut kecil, kau bersinar dalam gelap.
Cahayamu memang tidak sebesar
matahariku. Kau kecil, dengan pendaran cahaya putih yang mempesona. Kau
menemani redupnya hariku. Kupikir kita bisa menjadi sahabat yang baik, sungguh,
aku menyukai setiap sinar tawa yang kau pancarkan dalam hidupku. Kau ada di
sampingku, berbagi cerita dan tawa bersama.
Kemudian rasa ini membuncah. Kadang aku
tak melihatmu sebagai temanku menjalani hari yang redup ini. Sungguh pun, kau
terlihat secerah matahariku yang dulu. Kilau cahaya kecilmu seakan menemaniku
di saat aku membutuhkan yang lain. Kau menghapus ingatanku begitu mudah.
Hangatnya bermandikan cahaya matahari dengan selimut cahaya redup yang kau
tawarkan.
Aku memang sendiri dalam dunia biru
ini. Akan tetapi,kau hadir dalam pendar cahayamu untukku. Aku tidak bisa
menolak pikiran ini bahwa aku: membutuhkanmu.
***
Bintang
Aku
kecil dan bercahaya. Aku bersinar setiap hari. Aku bernaung dalam birumu sekian
lama, namun kau baru melihatku ketika dunia ini meredup. Aku yang menyinarimu
dalam gelap, dengan cahaya kecil yang kuperjuangkan terus berpendar. Hanya
untukmu.
Aku
tidak pernah menganggapmu lebih dari tempatku bernaung. Aku makhluk yang tahu
diri. Kau dan matahari sangat dekat, tak terpisahkan. Apalah aku ini di samping
hangatnya mentarimu. Kemudian kau kehilangan mataharimu sesaat. Kuputuskan
untuk menjadi satu-satunya pelita dalam gelapmu. Aku yang menerangi hidupmu
saat ini. Cahayaku memang tak seberapa, tapi aku selalu menemanimu dalam tawa
dan canda.
Tetapi
kemudian kau membuatku terkejut. Kau meruntuhkan dinding tembus pandang yang
kubangun untukmu. Untuk membatasi siapa kau dan aku sebenarnya.
Sejak
awal aku merasa bersyukur bahwa kau tidak melihat dan menyadari keberadaanku.
Kau memiliki matahari yang sempurna, memandikanmu dalam hangatnya cahaya dan
membuat rona warnamu selalu cerah. Hubungan kita tidak lebih dari sebuah
bintang kecil di langit yang biru. Namun kau seperti mempermainkanku. Kau
membuatku lupa siapa aku dan membuatku memiliki perasaan ini untukmu. Aku
menyadarinya sekarang bahwa aku: tidak ingin kehilanganmu dalam hidupku.
***
“Kalau begitu
silakan memilih. Aku atau mataharimu.”
“Kau yakin ingin
mendengar pilihanku sekarang?”
“Aku tidak akan
pernah siap mendengarnya. Aku tidak siap kehilanganmu dari hidupku. Jadi,
sekarang atau besok, tak ada bedanya.”
Hening yang
panjang.
“Maafkan aku.”
Hanya itu yang
terdengar dalam birunya malam ini. Lalu langit kembali melihat bintangnya dan
berkata,
“Tetapi apakah
aku masih bisa bertemu denganmu?”
Hening kembali.
“Tidak bisa.”
“Mengapa
begitu?”
“Aku tidak mau.”
***
Malam
itu hujan. Ya, hujan yang sangat deras. Gelap. Langit menghitam dan tidak ada
cahaya sama sekali. Cahaya putih nan kecil itu menghilang. Apalah guna biru
langit tanpa ada cahaya di sampingnya.
***
Langit
Aku masih bersama mentari yang hangat.
Matahariku memang sempurna, dalam kilau cahaya yang tak pernah padam dan
merangkulku dalam kehangatan. Akan tetapi, matahari memang matahari. Begitu
pula bintangku.Oh seharusnya aku tidak menyebutnya “bintangku”.
Bintang memang bintang. Dalam cahaya
kecilnya yang dulu menerangiku, dia meninggalkan suatu kerinduan yang dalam
padaku setiap malam. Aku rindu gurau, canda, tawa, cerca, makian, dan pandangan
matanya. Aku hanya bisa mengenang suaranya dalam gelapnya rona awanku.
"Kamu maunya apa sih? :) "
![]() |
nice blog kak
ReplyDeleteEMI