Melodrama Sejarah Pecinan Berbungkus Politik
Penulis : Handry TM
Editor : C. Donna Widjajanto
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Halaman : 456 halaman
Handry TM sekali lagi berhasil memukau pembaca dengan
kemampuan menulisnya yang mengesankan. Berbagai penghargaan yang diraih
sebelumnya seperti Kabut Bening yang memperoleh Juara II Sayembara Novel
Majalah Gadis dan Cinta yang Dilukai yang masuk 10 Lomba Cerpen Nasional,
semakin meyakinkan pembaca bahwa karya “Kancing yang Terlepas” patut dibaca.
“Zaman begitu tega menghapus sejarah yang tidak berguna.”

Pembaca tidak akan kunjung jemu dengan kejutan-kejutan
yang dihadirkan oleh Handry TM. Fantasi liar selalu menggiring pembaca untuk membayangkan hubungan percintaan antara perempuan muda, berusia 17 tahun, bertubuh sintal
bernama Giong Hong,yang cantik luar biasa dengan Tek Siang, lelaki paruh baya
berusia sekitar 60an tahun.
Novel ini tidak menyajikan romansa picisan yang dibungkus
dengan kata-kata penghanyut, tetapi nuansa romantis berbumbu isu politik pada
masa Orde Lama turut ditambahkan. Kedudukan masyarakat keturunan totok di Gang
Pinggir, daerah Pecinan Semarang diguncang dengan isu-isu politik “Ganjang Moesoeh dalam Selimoet Boeng Karno”.
Halauan kiri terus didegung degungkan dan masyarakat Gang Pinggir dituduh
sebagai antek komunis Bung Karno. Kerancuan situasi politik yang dirasakan
masyarakat minoritas diolah sedemikian rupa sehingga pembaca merasakan ketakutan
dan tekanan batin atas ketidakpastian situasi politik.
Namun, Handry TM pula sedikit tidak konsisten dalam
menuturkan sifat Siaw Giok Hong yang telah menjelma menjadi Boenga Lily. Nampak
dalam suatu scene,Boenga Lily yang sebelumnya mengata-ngatai Ing Wen, salah
seorang kepercayaan Tek Siang, sebagai pembantu melalui rentetan
perkataan kasar yang merendahkan. Namun tolak halauan sikap Boenga Liliy justru
berubah ingin menyelamatkan Ing Wen dari pembakaran Gang Pinggir. Ia pun
kembali tidak konsisten dalam membungkus sebuah dendam. Ketika karakter Boenga
Liliy menyatakan akan membakar Gang Pinggir dan memusnahkan Tek Siang. Namun,
ia menangis meraung-raung saat karakter Tek Siang di penjara dan menyatakan
sangat mencintai dan membutuhkannya.Selain itu, Handry TM pun tidak secara
jelas menggambarkan atau menyebut orang atau kelompok yang mendukung atau
melawan Bung Karno. Semua dinyatakan dalam kalimat panjang abu-abu.
Novel ini pula memberikan sebuah pesan moral tersirat
yang sudah sering terdengar namun memiliki makna mendalam “apa yang kau tanam,
itulah yang akan kau tuai”. Siaw Giok Hong dalam penjelmaannya sebagai Boenga
Lily selalu memperbudak laki-laki dengan kecantikannya, memainkan perasaan
dengan tujuan untuk menumpahkan dendam dengan membakar Gang Pinggir, tempat
kelahirannya. Namun semua tidak berjalan baik hingga akhirnya ia dijebak dan
dibawa pergi entah kemana. Tan Kong Gie yang menduakan istrinya dengan Boenga
Lily, terjebak oleh hawa nafsunya sendiri hingga akhirnya mendapat balasan
kematian anak sulungnya.Begitu pula dengan Tek Siang, dengan kerakusan dan
ketamakannya sebagai orang terkaya dan paling berpengaruh di Gang Pinggir
menggunakan segala cara untuk menghalalkan nafsunya bersama dengan Giok Hong,
hingga ia dipenjara dengan proses pengadilan tak kunjung jelas.
Terlepas dari hal tersebut, novel ini berhasil
menyampaikan ketegangan isu halauan kiri dan masyarakat minoritas yang dituduh
sebagai pendukung kelompok komunis. Semua disajakin secara manis, mendebarkan,
namun mengoyak jiwa pembaca.
0 comments:
Post a Comment