Kamu adalah rumahku, dimana aku berada,
disitulah aku selalu mencarimu
Rintik hujan
berjatuhan diatas bajuku, menimbulkan noda basah dan mengering. Aku berjalan
lambat menuju tikungan sempit pagi ini. Sengaja genangan air di depan kuinjak
dengan keras dan menimbulkan cipratan ke sebelah kananku. “Aduh,”sebuah suara
mengeluh disampingku. Aku menoleh dan mendapati laki-laki itu disampingku.
“Maaf, aku tidak tahu kau di sampingku,”kataku sambil menyerahkan sebuah tisue.
Laki-laki itu menggeleng, menolak tisue dariku, “Tidak apa-apa, seharusnya kau
sadar aku selalu disampingmu,” balasnya perlahan.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.”
Lalu hening kembali
menyelimuti mereka. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah pulangkah?” tanya
laki-laki itu lembut.
Sudah pulang? Tidak
tahu kah dia dimana aku selama ini? Aku menyembunyikan bayanganku dalam gelap,
supaya jangan ada yang tahu dimana aku berada. Aku menelan suaraku, supaya
jangan ada yang mendengar aku bicara. Sebab aku tahu keberadaanku tidak
diinginkan oleh mereka.
***
Rumah itu bukan selalu sebuah tempat. Rumah adalah suatu keadaan dimana kita dapat berkumpul bersama dengan orang yang kita sayang, situ bukanlah rumah kita. Harusnya sesederhana itulah pengertian rumah yang kumengerti. Tetapi keadaan ini membuatku sulit. Membuatku selalu menjawab pertanyaan, “Aku belum pulang.” Ketika seseorang menanyakan mengapa wajahku begitu kusut dan kumal.
Orang bilang lebih
baik kuakhiri saja tindakanku ini. Membuat dirimu sendiri terlantar adalah
tindakan bodoh, itu kata orang. Jadi aku hanya mendengarkan lewat telinga kanan
dan kubuang begitu saja lewat telinga kiri. Tidak kupikir. Sebab telinga ini
sudah tuli untuk mendengar nasihat bijak.
***
Gadis itu selalu
berdiri di ujung jalan. Ia selalu berhenti di situ tepat pukul 13.00. Dan aku
hanya mengawasinya dari jauh. Aku tahu apa yang ia lihat, sebuah rumah kecil
dengan pintu kayu coklat yang selalu tertutup. Aku tidak tahu mengapa begitu
sulit baginya untuk melangkah maju dan mengetuk pintu.
“Semua sudah tidak
sama,”jawabnya ketika aku bertanya,”Sebab akulah yang memulai dan sekarang aku
terkena dampaknya sendiri.” Aku tidak tahu perbuatan macam apa yang ia lakukan,
sampai-sampai membuatnya takut untuk pulang. Aku tidak bertanya lebih lanjut.
Tidak semua orang ingin menceritakan alasan dari sesuatu. Tetapi tiba-tiba ia
membuka mulutnya dan mulai bicara.
“Waktu itu kami
sebuah keluarga yang bahagia, kemanapun kami pergi, kami selalu bersama. Hingga
aku tidak suka pada satu orang anggota keluargaku. Cemburu dan dengki ini yang
mengalihkan hatiku untuk berbalik meninggalkan mereka. Kemudian perempuan lain,
yang anggota keluargaku juga, menyadarinya. Ia menusuk mataku dengan pandangan
jijik dan membuatku tidak nyaman setiap kali aku pulang ke rumah. Akhirnya
seluruh anggota keluargaku tahu. Aku tidak tahu apalagi yang terjadi. Yang
kutahu hanya melangkahkan kakiku keluar dan menutup kenop pintu perlahan.”
Aku mendengarkan
sambil menghisap rokok, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Gadis itu
mengibaskan tangannya disampingku, menghalau gumpal abu itu dari hidungnya. “Aku
bisa berbagi rumah denganmu.”
Gadis itu tersenyum
geli, “rumah macam apa yang ditawarkan gelandangan?”
“Hei, kita sama
sekarang, kau dan aku sama-sama gelandangan.” Balasku sinis. Gadis itu hanya
tertawa sebentar, kemudian bibirnya mengatup kembali. “Rumah itu bukan selalu
sebuah tempat. Rumah adalah suatu keadaan dimana kita dapat berkumpul bersama
dengan orang yang kita sayang, dan membuat kita nyaman. Rumah itu bisa kau
ciptakan sendiri.”
Gadis itu tampak
kebingungan, wajahnya terlihat lebih kusut saat berpikir. Aku hanya tertawa
geli. “Sudah ya, gelandangan mau kerja.”
“Hati-hati dan
cepat kembali,” sahut gadis itu. Kemudian matanya membulat dan ia menutup
mulutnya. Ia tersadar apa yang ia katakan, dan aku hanya tertawa mendengarnya.
***
Aku berjalan
perlahan menuju tikungan pagi ini. Kali ini dengan langkah cepat dan napas
tersengal. Aku berharap bisa menemukannya pagi ini. Tebakanku tepat. Seorang
laki-laki dengan baju kumal berdiri di sudut tikungan. Wajah dan bajunya
berlumuran cat akrilik. Di bawah kakinya terdapat banyak kaleng warna berisi
cat.
Aku berjalan
mendekatinya, kali ini sambil tersenyum. Ia membalas senyumku dan menyapa, “Selamat
pagi.”
“Selamat pagi,”
balasku semangat,”aku sudah punya rumah baru sekarang.”
“Benarkah? Dimana?
Aku akan bawakan lukisan untuk hias dindingnya.”
“Itu tidak perlu. “
balasku perlahan. Kemudian senyumku semakin merekah dan berkata,”Sebab kau adalah rumahku, dimana aku berada, disitulah
aku selalu mencarimu.”
Aku tersenyum
lebar. Laki-laki itu tampak terkejut, tetapi kemudian ia tersenyum dan
memberikan kuas lukis padaku. Kucelupkan ke dalam cat akrilik di bawah kakinya,
dan mulai melukis kisah kami
SELESAI
0 comments:
Post a Comment