Friday 13 December 2013

Rumah

Cynthia's Blog

Kamu adalah rumahku, dimana aku berada, disitulah aku selalu mencarimu
Rintik hujan berjatuhan diatas bajuku, menimbulkan noda basah dan mengering. Aku berjalan lambat menuju tikungan sempit pagi ini. Sengaja genangan air di depan kuinjak dengan keras dan menimbulkan cipratan ke sebelah kananku. “Aduh,”sebuah suara mengeluh disampingku. Aku menoleh dan mendapati laki-laki itu disampingku. “Maaf, aku tidak tahu kau di sampingku,”kataku sambil menyerahkan sebuah tisue. Laki-laki itu menggeleng, menolak tisue dariku, “Tidak apa-apa, seharusnya kau sadar aku selalu disampingmu,” balasnya perlahan.
“Apa?”

“Bukan apa-apa.”
Lalu hening kembali menyelimuti mereka. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah pulangkah?” tanya laki-laki itu lembut.

Sudah pulang? Tidak tahu kah dia dimana aku selama ini? Aku menyembunyikan bayanganku dalam gelap, supaya jangan ada yang tahu dimana aku berada. Aku menelan suaraku, supaya jangan ada yang mendengar aku bicara. Sebab aku tahu keberadaanku tidak diinginkan oleh mereka.

***

Rumah itu bukan selalu sebuah tempat. Rumah adalah suatu keadaan dimana kita dapat berkumpul bersama dengan orang yang kita sayang, situ bukanlah rumah kita. Harusnya sesederhana itulah pengertian rumah yang kumengerti. Tetapi keadaan ini membuatku sulit. Membuatku selalu menjawab pertanyaan, “Aku belum pulang.” Ketika seseorang menanyakan mengapa wajahku begitu kusut dan kumal.

Orang bilang lebih baik kuakhiri saja tindakanku ini. Membuat dirimu sendiri terlantar adalah tindakan bodoh, itu kata orang. Jadi aku hanya mendengarkan lewat telinga kanan dan kubuang begitu saja lewat telinga kiri. Tidak kupikir. Sebab telinga ini sudah tuli untuk mendengar nasihat bijak.

***
Gadis itu selalu berdiri di ujung jalan. Ia selalu berhenti di situ tepat pukul 13.00. Dan aku hanya mengawasinya dari jauh. Aku tahu apa yang ia lihat, sebuah rumah kecil dengan pintu kayu coklat yang selalu tertutup. Aku tidak tahu mengapa begitu sulit baginya untuk melangkah maju dan mengetuk pintu.

“Semua sudah tidak sama,”jawabnya ketika aku bertanya,”Sebab akulah yang memulai dan sekarang aku terkena dampaknya sendiri.” Aku tidak tahu perbuatan macam apa yang ia lakukan, sampai-sampai membuatnya takut untuk pulang. Aku tidak bertanya lebih lanjut. Tidak semua orang ingin menceritakan alasan dari sesuatu. Tetapi tiba-tiba ia membuka mulutnya dan mulai bicara.

“Waktu itu kami sebuah keluarga yang bahagia, kemanapun kami pergi, kami selalu bersama. Hingga aku tidak suka pada satu orang anggota keluargaku. Cemburu dan dengki ini yang mengalihkan hatiku untuk berbalik meninggalkan mereka. Kemudian perempuan lain, yang anggota keluargaku juga, menyadarinya. Ia menusuk mataku dengan pandangan jijik dan membuatku tidak nyaman setiap kali aku pulang ke rumah. Akhirnya seluruh anggota keluargaku tahu. Aku tidak tahu apalagi yang terjadi. Yang kutahu hanya melangkahkan kakiku keluar dan menutup kenop pintu perlahan.”
Aku mendengarkan sambil menghisap rokok, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Gadis itu mengibaskan tangannya disampingku, menghalau gumpal abu itu dari hidungnya. “Aku bisa berbagi rumah denganmu.”

Gadis itu tersenyum geli, “rumah macam apa yang ditawarkan gelandangan?”

“Hei, kita sama sekarang, kau dan aku sama-sama gelandangan.” Balasku sinis. Gadis itu hanya tertawa sebentar, kemudian bibirnya mengatup kembali. “Rumah itu bukan selalu sebuah tempat. Rumah adalah suatu keadaan dimana kita dapat berkumpul bersama dengan orang yang kita sayang, dan membuat kita nyaman. Rumah itu bisa kau ciptakan sendiri.”
Gadis itu tampak kebingungan, wajahnya terlihat lebih kusut saat berpikir. Aku hanya tertawa geli. “Sudah ya, gelandangan mau kerja.”

“Hati-hati dan cepat kembali,” sahut gadis itu. Kemudian matanya membulat dan ia menutup mulutnya. Ia tersadar apa yang ia katakan, dan aku hanya tertawa mendengarnya.
***
Aku berjalan perlahan menuju tikungan pagi ini. Kali ini dengan langkah cepat dan napas tersengal. Aku berharap bisa menemukannya pagi ini. Tebakanku tepat. Seorang laki-laki dengan baju kumal berdiri di sudut tikungan. Wajah dan bajunya berlumuran cat akrilik. Di bawah kakinya terdapat banyak kaleng warna berisi cat.
Aku berjalan mendekatinya, kali ini sambil tersenyum. Ia membalas senyumku dan menyapa, “Selamat pagi.”
“Selamat pagi,” balasku semangat,”aku sudah punya rumah baru sekarang.”

“Benarkah? Dimana? Aku akan bawakan lukisan untuk hias dindingnya.”

“Itu tidak perlu. “ balasku perlahan. Kemudian senyumku semakin merekah dan berkata,”Sebab kau  adalah rumahku, dimana aku berada, disitulah aku selalu mencarimu.”

Aku tersenyum lebar. Laki-laki itu tampak terkejut, tetapi kemudian ia tersenyum dan memberikan kuas lukis padaku. Kucelupkan ke dalam cat akrilik di bawah kakinya, dan mulai melukis kisah kami
SELESAI


Cynthia's Blog / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

Coprights @ 2016, Blogger Template Designed By Templateism | Distributed By Blogger Template