Aku Kepada Annisa
Handphone
Nokia gendut itu bergetar 6 kali. Gelombang getaran menyalur hingga mengusik
pinggangku. “Nyah ini hape kamu getar terus, ada pesan. Tidak dibaca dulu?”
celetukku seraya menggeser kabel charger yang berada didekat kursi dudukku. “Nanti
saja,”jawab sebuah suara sekenanya.
Kupandang
sekilas layar telpon genggam yang telah buram itu. Sebuah ikon kuning berbentuk
surat bergerak-gerak di layar kaca dengan tulisan “Mas”. Beberapa pertanyaan
bersahut-sahutan di kepalaku hingga menjalar ke mulutku, memberikan rasa gatal.
Akhirnya bibirku terbuka dan melemparkan sebuah pertanyaan,”Kalian berkelahi?”
Ia
terdiam memandangku. Lalu melanjutkan kegiatan tulis menulis di buku kecil
berwarna biru dengan garis-garis merah muda, sebelum akhirnya ia menjawab, “Tidak.”
Aku
tidak ingin mengurangi rasa hormatku sekalipun pada perempuan yang telah
menjadi sahabatku semenjak dua tahu lalu. Tapi rasa ingin tahuku teramat besar.
Terlebih ia jarang sekali menjawab pertanyaan dengan satu dua kata jika tidak
terjadi sesuatu.
“Aku
sedang mengurangi intensitasku dengannya. Baik itu berbicara maupun berkirim
pesan, bahkan kalau perlu kami tidak bertatap muka sama sekali,” sambungnya,
seolah mengerti aku sedang bertanya-tanya mengenai dirinya.
“Itu
bukan hal yang baik.”
“Aku
juga tidak yakin bisa melakukannya,”desahnya sendu. Kilat kesedihan terpancar
jelas dari sudut bola matanya. Aku melanjutkan pertanyaan dengan lebih
hati-hati sambil memegang tangannya,”Apakah ini ada hubungannya dengan ibumu?”
“Kurang
lebih begitu.”
Lalu
kami dibungkus oleh kesunyian yang mendalam. Rasa penasaran yang berkecamuk
melawan rasa hormat untuk tidak mencampuri urusan seseorang yang diwujudkan
dalam kebutaan kata yang terucap. Aku menyanyanginya. Sangat,sangat. Namun
dahulu kala ia pernah berucap padaku tentang keterbukaan seseorang yang
diwujudkan oleh keinginannya sendiri, bukan karena ada orang lain yang
bertanya.
Lalu
aku beranjak dari kursi dan melanjutkan pekerjaanku, memilih kostum-kostum yang
pas untuk pemeran utama. Seminggu lagi pentas kami akan berlangsung di Taman
Budaya Yogyakarta. Tidak ada yang bisa kuharapkan selain kelancaran pentas
sekolah kami.
***
Gladi
bersih pentas kami hampir selesai. Sebagai staff seksi acara aku hanya berdiam
manis menunggu aktor kebanggaan kami menyudahi adegan terakhir. Lampu seluruh
panggung dimatikan mendadak. Kemudian aktor-aktor kami yang berdadan bak setan,
dengan baju hitam legam muncul dari belakang kursi penonton. Melompat secara
tiba-tiba disamping siswa-siswi yang duduk manis di kursi, bahkan menyeret
beberapa diantara mereka hingga ke depan panggung. Tak ayal temanku pun diseret
oleh seorang setan.
“Annisa,
mau keman..,”belum sempat teriakanku selesai aku langsung menyadari bahwa
kangmas yang telah ia tinggalkan selama dua bulan yang telah menyeretnya dalam
kegelapan. Annisa tertawa sekeras-kerasnya begitu rasa takutnya sirna. Wajah
kangmasnya kini berdiri di depannya dengan balutan bedak putih setebal 2cm dan
lipstik merah membara. Tidak lupa kaos hitam super ketat dengan leging hitam
berlukis tulang-tulang kaki. Mereka saling berbisik dan diakhiri dengan kangmas
yang memberikan sekotak bungkusan merah muda. Pipi Annisa bersemu sangat merah
ketika kembali ke sisiku, tempat anak-anak staff seksi acara berkumpul.
“Wah,
senang sekali dapat hadiah. Kelihatannya Masmu terus berusaha.”
“Tidak
ada yang pernah mengatakan aku tidak berusaha pula, Nas.”gumamnya penuh arti.
Aku tidak mengerti, namun aku tetap tersenyum untuk mendukung rasa senangnya.
Atau rasa bingungnya. Aku bahkan hampir merasakan diantara sipu malu atas
hadiah kecil itu tersirat kebingungan yang besar.
***
Dua
tahun telah berlalu sejak kelulusan kami. Aku melanjutkan studiku di salah satu
universitas negeri sedangkan Annisa di universitas swasta. Kali waktu aku
berkunjung ke rumahnya. Sudah menjadi tradisi mengisi waktu bagiku untuk
bertemu teman lama.
“Bagaimana
kangmas mu?” tanyaku tiba-tiba, tentu saja Annisa langsung tersedak. Kami
berseder di dinding ruang tengah keluarganya. Ditemani sebuah boneka domba
berwarna cream di sudut ruangan yang
aku pula tahu diberikan kangmas untuk ulang tahun Annisa.
“Kami
masih saling berhubungan pada awal semester,”ungkap Annisa jujur, “Namun, aku
selalu membatasi diriku bahwa hubungan ini tidak akan berhasil. Tidak tanpa
restu ibuku.”
Aku
terenyak mendengarnya. Betapa bebalnya aku bila dibandingkan Annisa dalam
persoalan pilih memilih jodoh. Annisa hanya tinggal berdua dengan ibunya,
begitu pula aku hanya dengan seorang adik perempuan dan seorang ibu. Namun tak
ayal aku mendengar larangan dan ceramah ibuku perihal jodoh yang ia inginkan.
“Kau
sangat sayang pada ibumu,Annisa. Aku sangat iri padamu,”tuturku tulus.
Annisa
hanya tersenyum.
“Hingga
sekarang aku tidak bisa menemukan penggantinya. Orang yang telah sabar
menemaniku selama pementasan yang bahkan aku sering tidak membalas pesannya
bahkan didera penderitaan tidak bertatap muka denganku. Orang yang berjanji
untuk mengubah dirinya untukku. Orang yang telah berjuang masuk universitas
negeri favorit untuk meningkatkan derajatnya di mata ibuku.”
“Orang
yang bersedia meliuk-liuk tubuhnya membentuk namamu lalu dijadikan background twitter,”timpalku.
Kami
berdua tertawa terbahak-bahak.
“Cinta
di bangku sekolah memang sangat manis rasanya,” ujarnya tersenyum hangat. Aku
setuju dengannya, “Aku pun begitu Nis.”
“Namun
aku menyanyangi ibuku diatas segalanya. Aku ingin memberikan segala sesuatu
sesuai keinginannya.”
“Semoga
aku mendapatkan kedewasaan seperti dirimu.”
Kami
tertawa kembali dan menuang jus orange di gelas masing-masing menikmati senja
yang menyusup melalui etalase toko Annisa.
wah bagus sekali kak
ReplyDeleteEMI