Saturday 21 December 2013

Sisa Kenangan

Cynthia's Blog





Dalam ruang gelap ini, terdapat saatu pembicaraan. Tanya jawab yang sulit, antara Pikiran dan hati.

“Apakah jatuh cinta tanpa alasan itu bisa?” tanya Pikiran pada hati. Hati hanya termenung. “Entahlah, aku juga baru kali ini merasakannya.”

“Tidak perlu dirasakan,coba sekali-kali gunakan otakmu seperti aku,”dengus Pikiran kesal.
***

“Siapa ini?”

Waktu itu malam sangat gelap, ditambah lagi mata kami ditutup dengan kain hitam pekat. Tanganku dibimbing untuk menyentuh pundak orang dihadapanku. Badannya tinggi dan bahunya lebar. Aku bahkan bisa merasakan hembus napasnya.
           
Aku menyebut namaku, kemudian dia membalas dengan O yang panjang. Aku memegang pundaknya dalam diam. Kemudian aku merasakan tangan temanku yang lain naik di pundakku. Tangan yang kecil dengan jari yang lentik. Ini pasti jari perempuan. Lalu terdengar aba-aba dari orang disebelahku, “Pegang pundak temanmu dengan erat ya, kita mau jalan. Hati-hati jalannya terjal.”

Aku mengangguk perlahan. Aku tidak memegang pundaknya dengan erat karena sungkan tetapi kemudian tangannya memegang tanganku dan meletakkan dengan erat di pundaknya. “Pegangan yang benar, aku tidak mau kalau ada yang jatuh.”

Untungnya saat itu sudah sangat malam sehingga aku membiarkan semburat merah muda merembet naik ke pipiku. “Ya.” Hanya satu patah kata yang kuucapkan. Kemudian aku membiarkan dirinya menuntunku dalam gelap.
***

Lampu dinyalakan. Cahaya putih memandikan bola mata kami. Kami mengerjap mata kami karena tidak biasa melihat cahaya. Terlalu lama kami dalam ruangan gelap ini.

Dia duduk dihadapanku. Kepalanya menunduk. Pandangan matanya pada tertuju pada kakinya yang berayun. Kami berlima saling bercakap-cakap dalam ruangan sempit itu. Kata kakak pembimbing sebentar lagi kami akan bertemu dengan kakak-kakak angkatan yang lain.

Kemudian dia bangkit dan duduk di sampingku. Semua orang di ruangan itu diam, termasuk aku. Tapi kami tidak mampu berucap apapun.

Lalu suasana mencair ketika beberapa kakak angkatan mulai masuk ke ruangan sempit kami. Ketika itu, kami diminta untuk memperkenalkan teman di samping kami. Aku memperkenalkan dirinya, sekolahnya, dan asalnya. Kemudian dia menepuk pundakku dan memperkenalkan diriku secara lengkap. Tidak, aku berlebihan. Dia tidak menyebut nama belakangku. Tapi dia memperkenalkan diriku dengan tersenyum, senyum itu yang terbaik.

Setelah kakak angkatan masuk ke ruangan kami, silih berganti, sampai kami bosan dan lelah, aku mengambil bantal di sudut ruangan dan merebahkan diriku di dipan yang kududuki. “Geser dong,” katanya padaku. Kemudian kami berbagi bantal dan dia tidur di sebelahku tepat.

“Orang tuamu kerja apa?”
“Mereka polisi, sekarang sedang dinas di luar pulau.”
“Lalu kamu sendirian saja di rumah?”
“Tidak, aku dengan pembantuku.”

Kami bicara panjang lebar. Sangat panjang dan lebar. Bahkan aku tidak peduli apakah teman sekelompok kami mendengarkan obrolan kami. Bahkan aku menyinggung waktu pertama kali bertemu dengannya, “Waktu itu kamu bawa kartu JKT 48? Kamu fans clubnya?”

“Iya aku suka sekali,”jawabanya bersemangat.
“Lalu kalau ada cover dance JKT 48 tapi tariannya tidak mirip, menurutmu bagaiman?”
“Yah, aku hargai sih, mereka kan udah berusaha juga.”
“Oya, aku jadi ingat dulu kakak kelasku suka sekali dengan JKT 48, lalu dia sering membandingkan pacarnya dengan JKT 48.”
“Wah, itu tolol namanya,” jawabnya sambil tertawa,”Harusnya dia hargai perempuan yang ada dengannya saat ini.”
***

“Apakah waktu itu kau berdebar-debar?” tanya Pikiran. Hati menggeleng, “Tidak kok, karena aku rasa kami hanya berteman.”

“Tapi aku suka perlakuannya padaku,” tambah Hati sambil meringis. Pikiran duduk dan tampak merenung dengan serius. “Baiklah, kau rasakan saja terus. Aku mau berpikir dulu, nanti kalau sudah aku beritahu padamu.” Dan Hati pun hanya menurut.
***

Air dingin merembes masuk baju kami. Aku mengigil kedinginan. Walaupun hari sudah siang tapi diguyur dengan air kali itu bukan main dinginnya. “Dingin sekali,” keluhku. Memang, aku yang terkena air paling banyak. Badanku basah kuyub semua, padahal temanku yang lain hanya terkena air sebagian badan dan rambutnya saja. “Kenapa sih?”tanya Dia padaku. “Dingin. Butuh pelukan,” kataku sambil tertawa, maksudku bercanda. Ayolah, yang benar saja. Lagipula aku mengatakannya sambil tertawa. Akan tetapi, ia benar melakukannya untukku. Kemudian tangannya menepuk-nepuk kepalaku pelan.

Aku tidak mengerti harus meletakkan perasaanku dimana. Maka kuputuskan untuk membungkamnya terlebih dahulu. Selama permainan berlangsung, dia terlihat tidak serius melakukannya. Bahkan kelompok kami kalah terus. Tetapi selama perjalanan dia terus mengajakku bicara.  Kami pukul memukul bahu, tertawa, dan dia merangkulku. Semua terjadi begitu saja, seolah itu hal yang wajar. Karena ada kedekatan di antara ruang udara kami.
           
Kami mengikuti sesi acara dengan baik. Sampai hari terakhir, selesai melakukan foto bersama, dia merangkulku lagi. Aku balas meninju perutnya. “Nanti jadi datang ya? Anak cowok mau makan-makan setelah acara ini selesai.”

“Tapi aku tidak bawa kendaraan,” jawabku.

“Tenang, ada yang bawa mobil kok.” Lalu aku menyanggupinya. Aku mengajak satu teman perempuanku untuk menemaniku.

Kami tidak tahu apa yang terjadi. Sampai aku bertanya pada salah satu teman laki-lakiku, dan temanku menjawab bahwa minggu lalu dia berulang tahun. Dia hendak mengadakan acara ‘makan-makan’ bersama.
Akan tetapi, telepon mamaku mengacaukan semuanya. Bukan, aku yang mengacaukan semuanya. Mama mengatakan ia tidak bisa menjemputku diatas jam enam malam, dan memintaku segera pulang. Wajahku berubah masam. Bagaimana tidak, aku baru menyentuh ubin restorannya sekitar sepuluh menit yang lalu dan sekarang aku harus pergi. Aku meletakkan rupiah dan kutindih dibawah minumanku,”Aku bayar sendiri ya, aku harus pulang sekarang.”

“Lho memangnya sudah dijemput?”
“Belum sampai sih..”
“Kalau begitu di sini saja sampai mamamu datang,”
“Tidak, dia sudah hampir sampai mungkin.”

Lalu aku beranjak dari kursi, dan meninggalkannya dengan seribu langkah kebodohan.
Setelah itu, kami tidak pernah menjadi dekat kembali. Semua seperti sedia kala. Ketika kami pertama kali mengenal dan ada tembok canggung diantara kami. Rasa ketertarikan diantara kami pun sudah pudar. Kami? Bahkan sedari awal, kupikir aku harus menggunakan ‘aku’ untuk menyebut perasaan sepihak ini.
***
“Hei, pikiran, bagaimana kalau sekarang kau yang bekerja? Aku sudah mulai lelah,”keluh Hati.

“Kenapa lelah? Bukankah katamu perasaanmu terus tumbuh? Bahkan setelah acara malam keakraban itu seleai?” tanya Pikiran heran.

“Iya tumbuh,tetapi di satu sisi, sementara sisi yang lain mati.”

“Kenapa?”

“Karena kisah si pemilik kita dengan laki-laki itu tidak pernah berlanjut lagi. Aku lelah tiap kali pemilik kita mengingat namanya dan aku merasakan ngilu yang sangat.”

“Kupikir kita harus melupakannya, kamu, aku, dan si pemilik kita,”

Hati menangguk pasrah. Kemudian ia mencabut akar cerita yang tumbuh di sekitar dirinya. Akar cerita itu mulai membusuk. Pikiran pun meraba-raba kepalanya dan menekan tombol hapus. Hati dan Pikiran pun sepakat untuk mengubur akar cerita yang mulai membusuk dan memilih untuk melupakannya.


Cynthia's Blog / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 comments:

Coprights @ 2016, Blogger Template Designed By Templateism | Distributed By Blogger Template