“Berapa lama kau
akan pergi?” tanya sang Bunga seraya merunduk lesu. “’Aku tidak tahu, mungkin
dua bulan, ini sudah kebiasaan kami untuk pergi mencari tempat yang lebih
hangat,” jawab sang Burung, memeluk tubuh dengan kedua sayapnya. Bunga tahu
musim akan berganti dan cintanya ini akan pergi, tergantikan oleh musim dingin
yang beku.
Ia ingin berucap
kembali, namun tidak ada keberanian yang membuncah dari hatinya. Ia tahu hal
ini akan terjadi, ia tahu bahwa suatu saat cintanya akan pergi. Ia ingin
menahan kepergian Burung tetapi ia tidak ingin terlihat buruk dengan egonya.
Tamaklah sekali sebuah Bunga yang terlahir dari ujung pohon ini meminta seekor
Burung tetap bersama dan mencintainya selalu. “Kenapa tiba-tiba diam? Ayolah,
daun-daun sangat bagus di sini, aku ingin duduk bersantai di dekatmu” Suara
sang Burung membuyarkan lamunannya, ia hanya tersipu malu dan mengusap kelopaknya
dekat dengan sayap sang Burung.
***
Ia datang pada
saat musim semi, saat aku kecil dan kelopakku masih putih. Ia berkata dengan nada
lembut namun tegas, “Permisi, aku membutuhkan tempat tinggal sementara,
bolehkah aku membangun sarang di sini?” Tentu saja pohon ini mengangguk senang,
begitu pula aku. Kami hanya pohon kecil dengan daun hijau lebar dan banyak
bunga indah bermekaran. Dia bisa saja bicara pada bunga yang lain, entah
mengapa dia bicara padaku. “Hai kecil, namaku Burung, senang bertemu denganmu.”
Aku hanya tersenyum seraya melambaikan kelopakku. Dia tumbuh bersamaku, menjadi
tetanggaku yang paling ramah, kakakku yang paling baik, sekaligus ayahku yang
paling bijak. Dia tak pernah lelah bercerita tentang dunia yang ia jelajahi
bersama sayapnya yang kuat membentang.
Hanya saja aku
tak mengerti tentang musim kawinnya. Aku tahu semua binatang punya musim kawin,
tapi burungku tidak melakukannya. Ia tidak membawa betina mana pun ke dalam
sarangnya di pohon kami, tidak ada anak burung yang menciap-ciap dari balik
timbunan ranting, tidak ada cacing-cacing di paruhnya yang dia bawa pulang
untuk seekor lain. “Aku tidak berniat melakukannya. Kau bisa bilang aku ini
aneh, tapi aku tidak tertarik melakukannya. Aku nyaman tinggal di sini
bersamamu,”jawabnya ketika kutanya mengapa tidak mengikuti trend musim kawin.
Oh, dia curang.
Tentu saja karna dia memberiku secercah harapan untuk tinggal di sisinya.
Menemaninya menikmati pergantian musim. Lalu aku tumbuh semakin dewasa dan
perasaan ini semakin meluap. Hingga pergantian musim dingin ini, sesuatu yang
beku meremukkan harapanku. Kepergiannya dan tubuhku yang akan gugur dari
ranting pohon.
***
Ketakutan
merundung relung hati Bunga untuk bertanya apakah Burung akan kembali ketika
musim semi, mengepakkan sayapnya yang kokoh dan mendaratkan kaki mungilnya di
batang pohon ini dan menyuarak masuk ke tubuh pohon lalu berbaring kembali di
sarangnya. Apakah akan semudah itu? Ia tak yakin Burung mengingat letak
sarangnya, mungkin lebih mudah bagi mereka untuk membangun sarang baru.
“Kau tahu ada beberapa hal yang mustahil dilakukan, tapi kita setiap makhluk hidup selalu dapat melakukannya,”kata sang Burung memecah keheningan. “Kau sedang bermain dengan pikiran,”Bunga tertawa,”katakanlah apa yang kau mau.”
“Jangan gugur
dari pohon ini sampai musim semi berikutnya dan aku akan kembali ke sarangku
ini.”
Mustahil! Bunga tidak
bisa menahan tubuhnya koyak oleh terpaan angin dingin, belum lagi embun salju
yang menguyurnya tiap hari. Akan tetapi, tidak ada yang bisa membiusnya selain
kalimat terakhir. Bunga sangat ingin bertemu dengan sang Burung kembali. Dalam
hatinya, muncul deklarasi bahwa musim dingin pun tidak akan penyurutkan
penantiannya. Apakah Bunga gila? Tentu saja, karena sejak awal ia telah
dikalahkan oleh perasaannya.
***
“Kamu baca
apa?”tanya laki-laki itu. Si perempuan tergagap dan menutup bukunya, “Bukan
apa-apa, buku ini hanya menghiburku.” Laki-laki itu tersenyum dan memasukkan
sejumlah baju ke dalam tas ransel hitamnya. Perempuan itu menekuk pinggir
halaman buku yang paling atas lalu menaruhnya di samping, “Kamu sudah selesai
packing?” Laki-laki itu mengangguk dan dengan gesit merebut buku itu lalu
membuka halaman yang ditekuk. Si perempuan berdecak kesal dan pipinya bersemu
merah.
“Aku tidak
melakukan hal yang mustahil kok, dan aku tidak pergi sesuai musim,” kata
laki-laki itu kemudian. Si perempuan tidak menjawab karena kesal bercampur
malu. “Ah, tapi cerita ini ada benarnya juga, sini berikan tanganmu.” Laki-
laki itu menarik tangan perempuannya dan meletakkan segerombol kunci di
tangannya.
“Ini kunci
kehidupanku, silahkan kamu bawa. Biar semakin mirip dengan sarang si burung,
bagaimana?”
keren banget kata katanya kak
ReplyDeleteElever Agency